Senin, 04 Maret 2013

artikel


Belakangan ini marak sekali tayangan di Televisi mengenai koruptor, kadang heran dengan perilaku mereka yang seolah-olah tidak bersalah. Memberantas korupsi tidak bisa hanya slogan saja atau omdo saja, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri dimana seseorang tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Dibawah ini ada 2 artikel tentang cara dan langkah-langkah memberantas korupsi :

 

Bagaimana Memberantas Korupsi? Inilah Caranya

10 Langkah Memberantas Korupsi

Jakarta, Korupsi harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Cara pemberantasannya pun harus luar biasa. Keluarbiasaan itulah yang hingga kini coba dilakukan. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi, lengkap dengan para hakim ad hoc korupsi, adalah upaya luar biasa tersebut. Hasilnya lumayan. Represifitas pemberantasan korupsi sudah menjamah para mantan menteri dan gubernur aktif. Terakhir mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog) ditahan karena sangkaan korupsi. Namun, paradigma luar biasa tidak selamanya konsisten diterapkan. Ada saja upaya untuk melihat korupsi dengan kacamata business asa usual. Konsistensi keluarbiasaan selalu menghadapi serangan balik. Fights back itu terwujud dalam berbagai bentuk. Sempat ada wacana untuk mengeluarkan aturan khusus perlindungan bagi pejabat, agar tidak mudah dtertuduh korupsi; konstitusionalitas KPK dan Pengadilan Tipikor berulangkali digugat ke hadapan Mahkamah Konstitusi; terakhir Profesor Andi Hamzah, ketua Tim Perumus Revisi undang-undang korupsi, telah melemparkan argumen untuk membubarkan Pengadilan Tipikor. Suatu argumen yang koruptif dan harus dilawan.

 

 

Di garda terdepan upaya fights back ini pejabat tinggi negeri ini masih terus dituntut konsistensinya. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak jarang mengeluarkan pernyataan yang inkonsisten dengan upaya luar biasa pemberantasan korupsi. Terakhir, dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto melalui rekening Departemen Hukum dan HAM, yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, Jusuf Kalla dengan sangat normatif menyatakan uang Tommy tersebut bukan merupakan hasil korupsi. Kalla mengatakan, Tommy adalah terpidana pembunuhan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita, buka terpidana korupsi. Sehingga uang yang ditransfer tersebut adalah sah.

 

 

Kalla lupa bahwa Tommy membunuh Syaifuddin Kartasasmita karena hakim agung tersebut memvonis sang pangeran Cendana bersalah dalam kasus korupsi. Kalla juga terlalu biasa, seakan tidak ada relasi antara Yusril Ihza Mahendra dengan firma hukum Ihza & Ihza yang membantu proses pentransferan uang Tommy tersebut. Seharusnya koneksi demikian tidak hanya dilihat dengan kaca mata normal semata ketidaketisan; tetapi lebih jauh adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Apalagi Ihza & Ihza, law firm Yusril tersebut - menurut investigasi Majalag Tempo - menerima uang jasa sekitar 7 miliar Rupiah.

 

 

Konsistensi keluarbiasaan korupsi harus konsisten dilaksanakan. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary tersebut:

 

 

Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.

 

 

Kedua, untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.

 

 

Ketiga, di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.

 

 

Keempat, konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.

 

 

Kelima, untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.

 

 

Keenam, sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.

 

 

Ketujuh, pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.

 

 

Kedelapan, pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.

 

 

Kesembilan, semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.

 

 

Kesepuluh, akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.

 

 

Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.

 

 

 

artikel


Belakangan ini marak sekali tayangan di Televisi mengenai koruptor, kadang heran dengan perilaku mereka yang seolah-olah tidak bersalah. Memberantas korupsi tidak bisa hanya slogan saja atau omdo saja, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri dimana seseorang tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Dibawah ini ada 2 artikel tentang cara dan langkah-langkah memberantas korupsi :
 
Bagaimana Memberantas Korupsi? Inilah Caranya

10 Langkah Memberantas Korupsi
Jakarta, Korupsi harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Cara pemberantasannya pun harus luar biasa. Keluarbiasaan itulah yang hingga kini coba dilakukan. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi, lengkap dengan para hakim ad hoc korupsi, adalah upaya luar biasa tersebut. Hasilnya lumayan. Represifitas pemberantasan korupsi sudah menjamah para mantan menteri dan gubernur aktif. Terakhir mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog) ditahan karena sangkaan korupsi. Namun, paradigma luar biasa tidak selamanya konsisten diterapkan. Ada saja upaya untuk melihat korupsi dengan kacamata business asa usual. Konsistensi keluarbiasaan selalu menghadapi serangan balik. Fights back itu terwujud dalam berbagai bentuk. Sempat ada wacana untuk mengeluarkan aturan khusus perlindungan bagi pejabat, agar tidak mudah dtertuduh korupsi; konstitusionalitas KPK dan Pengadilan Tipikor berulangkali digugat ke hadapan Mahkamah Konstitusi; terakhir Profesor Andi Hamzah, ketua Tim Perumus Revisi undang-undang korupsi, telah melemparkan argumen untuk membubarkan Pengadilan Tipikor. Suatu argumen yang koruptif dan harus dilawan.
 
 
Di garda terdepan upaya fights back ini pejabat tinggi negeri ini masih terus dituntut konsistensinya. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak jarang mengeluarkan pernyataan yang inkonsisten dengan upaya luar biasa pemberantasan korupsi. Terakhir, dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto melalui rekening Departemen Hukum dan HAM, yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, Jusuf Kalla dengan sangat normatif menyatakan uang Tommy tersebut bukan merupakan hasil korupsi. Kalla mengatakan, Tommy adalah terpidana pembunuhan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita, buka terpidana korupsi. Sehingga uang yang ditransfer tersebut adalah sah.
 
 
Kalla lupa bahwa Tommy membunuh Syaifuddin Kartasasmita karena hakim agung tersebut memvonis sang pangeran Cendana bersalah dalam kasus korupsi. Kalla juga terlalu biasa, seakan tidak ada relasi antara Yusril Ihza Mahendra dengan firma hukum Ihza & Ihza yang membantu proses pentransferan uang Tommy tersebut. Seharusnya koneksi demikian tidak hanya dilihat dengan kaca mata normal semata ketidaketisan; tetapi lebih jauh adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Apalagi Ihza & Ihza, law firm Yusril tersebut - menurut investigasi Majalag Tempo - menerima uang jasa sekitar 7 miliar Rupiah.
 
 
Konsistensi keluarbiasaan korupsi harus konsisten dilaksanakan. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary tersebut:
 
 
Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.
 
 
Kedua, untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.
 
 
Ketiga, di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.
 
 
Keempat, konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.
 
 
Kelima, untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.
 
 
Keenam, sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.
 
 
Ketujuh, pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.
 
 
Kedelapan, pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.
 
 
Kesembilan, semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.
 
 
Kesepuluh, akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.
 
 
Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.
 
 
 

artikel


Belakangan ini marak sekali tayangan di Televisi mengenai koruptor, kadang heran dengan perilaku mereka yang seolah-olah tidak bersalah. Memberantas korupsi tidak bisa hanya slogan saja atau omdo saja, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri dimana seseorang tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Dibawah ini ada 2 artikel tentang cara dan langkah-langkah memberantas korupsi :
 
Bagaimana Memberantas Korupsi? Inilah Caranya

10 Langkah Memberantas Korupsi
Jakarta, Korupsi harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Cara pemberantasannya pun harus luar biasa. Keluarbiasaan itulah yang hingga kini coba dilakukan. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi, lengkap dengan para hakim ad hoc korupsi, adalah upaya luar biasa tersebut. Hasilnya lumayan. Represifitas pemberantasan korupsi sudah menjamah para mantan menteri dan gubernur aktif. Terakhir mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog) ditahan karena sangkaan korupsi. Namun, paradigma luar biasa tidak selamanya konsisten diterapkan. Ada saja upaya untuk melihat korupsi dengan kacamata business asa usual. Konsistensi keluarbiasaan selalu menghadapi serangan balik. Fights back itu terwujud dalam berbagai bentuk. Sempat ada wacana untuk mengeluarkan aturan khusus perlindungan bagi pejabat, agar tidak mudah dtertuduh korupsi; konstitusionalitas KPK dan Pengadilan Tipikor berulangkali digugat ke hadapan Mahkamah Konstitusi; terakhir Profesor Andi Hamzah, ketua Tim Perumus Revisi undang-undang korupsi, telah melemparkan argumen untuk membubarkan Pengadilan Tipikor. Suatu argumen yang koruptif dan harus dilawan.
 
 
Di garda terdepan upaya fights back ini pejabat tinggi negeri ini masih terus dituntut konsistensinya. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak jarang mengeluarkan pernyataan yang inkonsisten dengan upaya luar biasa pemberantasan korupsi. Terakhir, dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto melalui rekening Departemen Hukum dan HAM, yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, Jusuf Kalla dengan sangat normatif menyatakan uang Tommy tersebut bukan merupakan hasil korupsi. Kalla mengatakan, Tommy adalah terpidana pembunuhan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita, buka terpidana korupsi. Sehingga uang yang ditransfer tersebut adalah sah.
 
 
Kalla lupa bahwa Tommy membunuh Syaifuddin Kartasasmita karena hakim agung tersebut memvonis sang pangeran Cendana bersalah dalam kasus korupsi. Kalla juga terlalu biasa, seakan tidak ada relasi antara Yusril Ihza Mahendra dengan firma hukum Ihza & Ihza yang membantu proses pentransferan uang Tommy tersebut. Seharusnya koneksi demikian tidak hanya dilihat dengan kaca mata normal semata ketidaketisan; tetapi lebih jauh adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Apalagi Ihza & Ihza, law firm Yusril tersebut - menurut investigasi Majalag Tempo - menerima uang jasa sekitar 7 miliar Rupiah.
 
 
Konsistensi keluarbiasaan korupsi harus konsisten dilaksanakan. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary tersebut:
 
 
Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.
 
 
Kedua, untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.
 
 
Ketiga, di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.
 
 
Keempat, konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.
 
 
Kelima, untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.
 
 
Keenam, sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.
 
 
Ketujuh, pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.
 
 
Kedelapan, pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.
 
 
Kesembilan, semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.
 
 
Kesepuluh, akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.
 
 
Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.
 
 
 

artikel

tugas sofskill

Belakangan ini marak sekali tayangan di Televisi mengenai koruptor, kadang heran dengan perilaku mereka yang seolah-olah tidak bersalah. Memberantas korupsi tidak bisa hanya slogan saja atau omdo saja, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri dimana seseorang tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Dibawah ini ada 2 artikel tentang cara dan langkah-langkah memberantas korupsi :

 

Bagaimana Memberantas Korupsi? Inilah Caranya

10 Langkah Memberantas Korupsi

Jakarta, Korupsi harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Cara pemberantasannya pun harus luar biasa. Keluarbiasaan itulah yang hingga kini coba dilakukan. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi, lengkap dengan para hakim ad hoc korupsi, adalah upaya luar biasa tersebut. Hasilnya lumayan. Represifitas pemberantasan korupsi sudah menjamah para mantan menteri dan gubernur aktif. Terakhir mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog) ditahan karena sangkaan korupsi. Namun, paradigma luar biasa tidak selamanya konsisten diterapkan. Ada saja upaya untuk melihat korupsi dengan kacamata business asa usual. Konsistensi keluarbiasaan selalu menghadapi serangan balik. Fights back itu terwujud dalam berbagai bentuk. Sempat ada wacana untuk mengeluarkan aturan khusus perlindungan bagi pejabat, agar tidak mudah dtertuduh korupsi; konstitusionalitas KPK dan Pengadilan Tipikor berulangkali digugat ke hadapan Mahkamah Konstitusi; terakhir Profesor Andi Hamzah, ketua Tim Perumus Revisi undang-undang korupsi, telah melemparkan argumen untuk membubarkan Pengadilan Tipikor. Suatu argumen yang koruptif dan harus dilawan.

 

 

Di garda terdepan upaya fights back ini pejabat tinggi negeri ini masih terus dituntut konsistensinya. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak jarang mengeluarkan pernyataan yang inkonsisten dengan upaya luar biasa pemberantasan korupsi. Terakhir, dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto melalui rekening Departemen Hukum dan HAM, yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, Jusuf Kalla dengan sangat normatif menyatakan uang Tommy tersebut bukan merupakan hasil korupsi. Kalla mengatakan, Tommy adalah terpidana pembunuhan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita, buka terpidana korupsi. Sehingga uang yang ditransfer tersebut adalah sah.

 

 

Kalla lupa bahwa Tommy membunuh Syaifuddin Kartasasmita karena hakim agung tersebut memvonis sang pangeran Cendana bersalah dalam kasus korupsi. Kalla juga terlalu biasa, seakan tidak ada relasi antara Yusril Ihza Mahendra dengan firma hukum Ihza & Ihza yang membantu proses pentransferan uang Tommy tersebut. Seharusnya koneksi demikian tidak hanya dilihat dengan kaca mata normal semata ketidaketisan; tetapi lebih jauh adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Apalagi Ihza & Ihza, law firm Yusril tersebut - menurut investigasi Majalag Tempo - menerima uang jasa sekitar 7 miliar Rupiah.

 

 

Konsistensi keluarbiasaan korupsi harus konsisten dilaksanakan. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary tersebut:

 

 

Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.

 

 

Kedua, untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.

 

 

Ketiga, di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.

 

 

Keempat, konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.

 

 

Kelima, untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.

 

 

Keenam, sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.

 

 

Ketujuh, pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.

 

 

Kedelapan, pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.

 

 

Kesembilan, semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.

 

 

Kesepuluh, akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.

 

 

Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.

 

 

 

artikel

tugas sofskill

Belakangan ini marak sekali tayangan di Televisi mengenai koruptor, kadang heran dengan perilaku mereka yang seolah-olah tidak bersalah. Memberantas korupsi tidak bisa hanya slogan saja atau omdo saja, tapi harus melalui proses perubahan sistem itu sendiri dimana seseorang tidak ada kesempatan untuk melakukan korupsi. Dibawah ini ada 2 artikel tentang cara dan langkah-langkah memberantas korupsi :

 

Bagaimana Memberantas Korupsi? Inilah Caranya

10 Langkah Memberantas Korupsi

Jakarta, Korupsi harus diberantas hingga ke akar-akarnya. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Cara pemberantasannya pun harus luar biasa. Keluarbiasaan itulah yang hingga kini coba dilakukan. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi, lengkap dengan para hakim ad hoc korupsi, adalah upaya luar biasa tersebut. Hasilnya lumayan. Represifitas pemberantasan korupsi sudah menjamah para mantan menteri dan gubernur aktif. Terakhir mantan Kepala Badan Usaha Logistik (Bulog) ditahan karena sangkaan korupsi. Namun, paradigma luar biasa tidak selamanya konsisten diterapkan. Ada saja upaya untuk melihat korupsi dengan kacamata business asa usual. Konsistensi keluarbiasaan selalu menghadapi serangan balik. Fights back itu terwujud dalam berbagai bentuk. Sempat ada wacana untuk mengeluarkan aturan khusus perlindungan bagi pejabat, agar tidak mudah dtertuduh korupsi; konstitusionalitas KPK dan Pengadilan Tipikor berulangkali digugat ke hadapan Mahkamah Konstitusi; terakhir Profesor Andi Hamzah, ketua Tim Perumus Revisi undang-undang korupsi, telah melemparkan argumen untuk membubarkan Pengadilan Tipikor. Suatu argumen yang koruptif dan harus dilawan.

 

 

Di garda terdepan upaya fights back ini pejabat tinggi negeri ini masih terus dituntut konsistensinya. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak jarang mengeluarkan pernyataan yang inkonsisten dengan upaya luar biasa pemberantasan korupsi. Terakhir, dalam kasus transfer uang Tommy Soeharto melalui rekening Departemen Hukum dan HAM, yang melibatkan Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin, Jusuf Kalla dengan sangat normatif menyatakan uang Tommy tersebut bukan merupakan hasil korupsi. Kalla mengatakan, Tommy adalah terpidana pembunuhan hakim agung Syaifuddin Kartasasmita, buka terpidana korupsi. Sehingga uang yang ditransfer tersebut adalah sah.

 

 

Kalla lupa bahwa Tommy membunuh Syaifuddin Kartasasmita karena hakim agung tersebut memvonis sang pangeran Cendana bersalah dalam kasus korupsi. Kalla juga terlalu biasa, seakan tidak ada relasi antara Yusril Ihza Mahendra dengan firma hukum Ihza & Ihza yang membantu proses pentransferan uang Tommy tersebut. Seharusnya koneksi demikian tidak hanya dilihat dengan kaca mata normal semata ketidaketisan; tetapi lebih jauh adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Apalagi Ihza & Ihza, law firm Yusril tersebut - menurut investigasi Majalag Tempo - menerima uang jasa sekitar 7 miliar Rupiah.

 

 

Konsistensi keluarbiasaan korupsi harus konsisten dilaksanakan. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary tersebut:

 

 

Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.

 

 

Kedua, untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.

 

 

Ketiga, di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.

 

 

Keempat, konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula intergitas moralitas yang terjaga.

 

 

Kelima, untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.

 

 

Keenam, sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.

 

 

Ketujuh, pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.

 

 

Kedelapan, pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.

 

 

Kesembilan, semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini sendiri.

 

 

Kesepuluh, akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan budaya zero tollerance to corruption.

 

 

Itulah sepuluh langkah pemberantasan korupsi secara luar biasa, yang membutuhkan pemimpin dan rakyat Indonesia yang luar biasa untuk konsisten menerapkannya.