A. Pengertian Demokrasi
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu
demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu
pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling
lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar
ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga
jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif
dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan
memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam
arti yang lebih luas.
Menurut Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16),
demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Democracy is
government of the people, by the people and for the people). Azas-azas pokok
demokrasi dalam suatu pemerintahan demokratis adalah:
1. pengakuan
partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya melalui pemilihan wakil-wakil rakyat untuk parlemen secara bebas dan
rahasia; dan
2. pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.
Demokrasi ini berpangkal pada teori pemisahan
kekuasaan yang dikemukakan oleh para filsuf bidang politik dan hukum.
Pelopornya adalah John Locke (1632-1704) dari Inggris, yang membagi kekuasaan
negara ke dalam tiga bidang, yaitu eksekutif, legislatif dan federatif. Untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, ketiga bidang itu harus
dipisahkan. Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1688-1755)
asal Prancis, memodifikasi teori Locke itu dalam teori yang disebut Trias
Politica pada bukunya yang berjudul L’Esprit des Lois. Menurut Montesquieu,
kekuasaan negara dibagi menjadi: legislatif (kekuasaan membuat undang-undang),
eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang-undang) dan yudikatif (kekuasaan
mengatasi pelanggaran dan menyelesaikan perselisihan antarlembaga yang
berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang).
B. Hubungan Demokrasi dan Pancasila Sila ke-4
Istilah demokrasi itu sendiri, tidak termaktub
dalam Pembukaan UUD 1945, yang memuat Pancasila. Namun, esensi demokrasi
terdapat dalam Sila keempat Pancasila, Kedaulatan Rakyat yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksnaan berdasar Permusyawaratan/ Perwakilan. Sejauh apa demokrasi
kita merupakan perwujudan Sila keempat itu ?
Pancasila yang mempunyai hierarki dalam setiap
sila-sila dalam pancasila yang mempunyai wujud kepedulian terhadap bangsa
Indonesia. Sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai arti
bahwa negara dan bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan dan Mempercayai agama
dan melaksanakan ajaran-ajaran agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Sila
yang kedua sampai sila kelima merupakan sebuah akisoma dari sisi humanisme
bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan masyarakat Indonesia yang dikatakan
heterogen, yang mempunyai kebudayaan, bahasa, suku yang berbeda-beda, maka
pancasila inilah yang menjadi sebuah kekuatan untuk mempersatukan masyarakat
yang heterogen ini (bhineka tunggal ika). Pancasila tidak memandang stereotype
suatu suku, suatu adat, atau budaya. Integrasi masyarakat yang heterogen
menjadi masyarakat yang homogen dapat terwujud bila adanya rasanya persatuan
dan kesatuan. Dinamika masyarakat yang heterogen menjadikan kekuatan Indonesia
dalam menjadikan sebuah yang dinamakan “bangsa”, tetapi dapat menghancurkan
Indonesia itu sendiri bila tidak ada rasa untuk bersatu.
Ketika para pendiri bangsa ini merumuskan UUD
1945, sudah tentu ingin memberikan system ketatanegaraan yang terbaik bagi
bangsa ini. Yang terbaik itu, adalah yang sesuai dengan kondisi bangsa yang
sangat plural, baik dari aspek etnis, agama ,dan sosial budaya. Bahwa
kedaulatan ditangan rakyat, mekanismenya berdasar Permusyawaratan/ Perwakilan.
Sudahkah esensi demokrasi seperti itu diterjemahkan dalam kehidupan demokrasi
kita? Sudahkah UU Pemilu kita benar-benar merujuk pada esensi demokrasi yang
dicita-citakan para pendiri bangsa ini? Sudahkah mekansime demokrasi yang kita
tempuh dalam setiap pengambilan keputusan merujuk ke esensi demokrasi yang kita
cita-citakan?
Demokrasi merupakan nilai dari pancasila,
dimana nilai tersebut memiliki makna dan hubungan yang erat. Adapun makna yang
terkandung dalam pancasila sila ke-4 ( “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” ) adalah sebagai berikut :
1. Setiap
warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama,
2. Tidak
Boleh memaksakan kehendak kepada orang lain,
3. Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama,
4. Menghormati
dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah,
5. Didalam
musyawarah diutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau
golongan, dan
6. Memberikan
kepercayaan kepada wakil-Wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
permusyawaratan.
Mengenai sila keempat daripada Pancasila,
dasar filsafat negara Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyarawatan/perwakilan dapat diketahui dengan empat hal
sebagai berikut :
1. Sila
kerakyatan sebagai bawaan dari persatuan dan kesatuan semua sila, mewujudkan
penjelmaan dari tiga sila yang mendahuluinya dan merupakan dasar daripada sila
yang kelima.
2. Di dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar, sila kerakyatan ditentukan penggunaannya yaitu
dijelmakan sebagai dasar politik Negara, bahwa negara Indonesia adalah negara
berkedaulatan rakyat.
3. Pembukaan
Undang-undang Dasar merupakan pokok kaidah Negara yang fundamentil sehingga
dengan jalan hukum selama-lamanya tidak dapat diubah lagi, maka dasar politik
Negara berkedaulatan rakyat merupakan dasar mutlak daripada Negara Indonesia.
4. Dasar
berkedaulatan rakyat dikatakan bahwa,”Berdasarkan kerakyatan dan dalam
permusyarawatan/perwakilan, oleh karena itu sistem negara yang nanti akan
terbentuk dalam Undang-undang dasar harus berdasar juga, atas kedaulatan rakyat
dan atas dasar permusyarawatan/perwakilan”. Sehingga Negara Indonesia adalah
mutlak suatu negara demokrasi, jadi untuk selama-lamanya.
Sila ke-empat merupakan penjelmaan dalam dasar
politik Negara, ialah Negara berkedaulatan rakyat menjadi landasan mutlak
daripada sifat demokrasi Negara Indonesia. Disebabkan mempunyai dua dasar
mutlak, maka sifat demokrasi Negara Indonesia adalah mutlak pula, yaitu tidak
dapat dirubah atau ditiadakan.
Berkat sifat persatuan dan kesatuan daripada
Pancasila, sila ke-empat mengandung pula sila-sila lainnya, sehingga kerakyatan
dan sebagainya adalah kerakyatan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, Yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia dan yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
C. Demokrasi di Indonesia
Bisa dikatakan bahwa Indonesia sangat
berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia, berkat keberhasilan
mengembangkan dan melaksanakan sistem demokrasi. Menurut Ketua Asosiasi
Konsultan Politik Asia Pasifik (APAPC), Pri Sulisto, keberhasilan Indonesia
dalam bidang demokrasi bisa menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Asia
yang hingga saat ini beberapa di antaranya masih diperintah dengan „tangan
besi‟. Indonesia juga bisa menjadi contoh, bahwa pembangunan sistem demokrasi
dapat berjalan seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Ia menilai,
keberhasilan Indonesia dalam bidang demokrasi yag tidak banyak disadari itu,
membuat pihak luar termasuk Asosiasi Internasional Konsultan Politik (IAPC),
membuka mata bangsa Indonesia, bahwa keberhasilan tersebut merupakan sebuah
prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut juga menjadikan Indonesia sangat
berpotensi mengantar datangnya suatu era baru di Asia yang demokratis dan makmur.
Sementara itu, mantan wakil perdana menteri
Malaysia, Anwar Ibrahim, menyebutkan bahwa demokrasi telah berjalan baik di
Indonesia dan hal itu telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan populasi
4 besar dunia yang berhasil melaksanakan demokrasi.
Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi
waktu dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
1. Periode 1945-1959 Demokrasi Parlementer
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan
demokrasi parlementer. Sistem parlementer ini mulai berlaku sebulan setelah
kemerdekaan diproklamasikan. Sistem ini kemudian diperkuat dalam Undang-Undang
Dasar 1949 (Konstitusi RIS) dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.
Meskipun sistem ini dapat berjalan dengan memuaskan di beberapa negara Asia
lain, sistem ini ternyata kurang cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan melemahnya persatuan bangsa. Dalam UUDS 1950, badan
eksekutif terdiri dari Presiden sebagai kepala negara konstitusional
(constitutional head) dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
2. Periode 1959-1965 (Orde Lama)
Demokrasi Terpimpin Pandangan A. Syafi‟i
Ma‟arif, demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno seagai
“Ayah” dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat
berada di tangannya. Dengan demikian, kekeliruan yang besar dalam Demokrasi
Terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi
yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin. Selain
itu, tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balance dari legislatif
terhadap eksekutif.
3. Periode 1965-1998 (Orde Baru) Demokrasi Pancasila
Ciri-ciri demokrasi pada periode Orde Lama
antara lain presiden sangat mendominasi pemerintahan, terbatasnya peran partai
politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai
unsur sosial politik. Menurut M. Rusli Karim, rezim Orde Baru ditandai oleh;
dominannya peranan ABRI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan
politik, pembatasan peran dan fungsi partai politik, campur tangan pemerintah
dalam persoalan partai politik dan publik, masa mengambang, monolitisasi
ideologi negara, dan inkorporasi lembaga nonpemerintah
4. Periode 1998-sekarang( Reformasi )
Orde reformasi ditandai dengan turunnya
Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Jabatan presiden kemudian diisi
oleh wakil presiden, Prof. DR. Ir. Ing. B.J. Habibie. Turunnya presiden
Soeharto disebabkan karena tidak adanya lagi kepercayaan dari rakyat terhadap
pemerintahan Orde Baru.
Referensi:
Bestari, Prayoga dkk. 2008. Menjadi Warga
Negara Yang Baik. Jakarta. PT. Pribumi Mekar
Bolo, Andreas Doweng dkk. 2000. Pendidikan
Nilai Pancasila. Bandung. Unpar Press
Sajari. 2008. Kewarganegaraan. Jakarta. PT.
Bengawan Ilmu
Sudarsih dkk. 2008. Moral Pancasila. Jakarta.
Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional
Sunarso dan Kusumawardani, Anis. 2008.
Pendidikan kewarganegaraan. Jakarta. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan
Nasional
Widayati, Wahyuningrum dkk. 2008. Moral
Pancasila. Jakarta. Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional
Yaminii. 2008. Kewarganegaraan. Surabaya. PT.
Surabaya Intelektual Club
Tidak ada komentar:
Posting Komentar