Pembajakan Software di Indonesia
HAKI mendapatkan sorotan
khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan dengan jauh lebih mudah dalam
kaitannya dengan fenomena konvergensi teknologi informasi yang terjadi. Tanpa
perlindungan, obyek yang sangat bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti
apa-apa, ketika si pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya
yang telah dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru
yang memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran HAKI
sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat ketiga
terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan software.
Tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang komputer sungguh
sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program yang digunakan di
Indonesia merupakan program yang disalin secara ilegal.
Dampak dari pembajakan
tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal
ini menurunkan tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan
tingkat kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa
dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional,
hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih
memprihatinkan lagi dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang
ikut menandatangani Perjanjian “Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi Indonesia
justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan Cina, sebagai
Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan BSA (Bussiness
Software Alliance).
Suburnya pembajakan software
di Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih belum siap menerima HaKI,
selain itu pembajakan software sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sekali di
negeri kita dan umumnya dilakukan tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu
sisi hal ini disebabkan karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap
nilai-nilai hak dan kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software
yang digunakan. Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa
dikatakan diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia. Berikut adalah
daftar harga software asli dari Microsoft:
1.
CD Original Windows® 98 Second Edition US$75
2.
CD Original Windows® Millennium Edition US$75
3.
CD Original Windows® XP Home Edition US$75
4.
CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175
5.
CD Original Windows® XP Professional US$175
6.
CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750
7.
CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel,
MS
Outlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
Outlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
8.
CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS
Word, MS
Excel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.
Excel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.
Harga di atas tentunya
sangat jauh jika dibandingkan dengan cd bajakan yang ada di Indonesia. Bagi
kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita menemukan betapa
sofware-software tersebut ataupun dalam bentuk collection yang dijual hanya
dengan harga yang berkisar antara lima hingga beberapa puluh ribu rupiah di
toko-toko komputer, ataupun perlengkapan aksesorisnya.
Permasalahan yang cukup
menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software bajakan ini tidak hanya
melingkupi publik secara umum saja, namun pula mencakup kalangan korporat,
pemerintahan, atau bahkan para penegak hukumnya sendiri pun bisa dikatakan
belum bisa benar-benar dikatakan bersih dari penggunaan software bajakan.
Bagaimana sebenarnya cara yang bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective
untuk melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan opensource
ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang (secara makro) cukup
besar.
Umumnya sumber daya manusia
yang dimiliki saat ini sudah terlatih untuk menggunakan software yang umum
digunakan seperti Windows, Office, dan sejenisnya yang merupakan proprietary
software, dan untuk menggunakan software proprietary secara legal membutuhkan
biaya yang cukup besar. Di sisi lain solusi ini barangkali terjawab dengan
software opensource seperti Linux dengan StarOffice misalnya, namun hal ini
juga membutuhkan biaya untuk training SDM yang saat ini dimiliki dan
invisible-cost yang muncul akibat turunnya produktifitas selama masa adaptasi.
Untuk mengurangi angka
pembajakan software di Indonesia, pemerintah Indonesia akan menggiatkan
kampanye melawan pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan akan
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya masalah ini. Pemerintah
juga akan meningkatkan frekuensi pembersihan (razia), memperberat hukuman
terhadap para pelanggar HAKI dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah masuknya
produk-produk bajakan ke Indonesia. Salah satu langkah yang diambil pemerintah
Indonesia adalah dengan membentuk Tim Keppres 34, yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan perundang-undangan hak cipta, merek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar